Bila sekiranya di rumah kita ada lonceng-lonceng yang digantung serupa dengan naqus/lonceng gereja dalam hal suara ataupun model/bentuknya, walaupun tujuan kita hanya sebagai hiasan, maka singkirkanlah. Karena Nabi n bersabda dalam hadits yang disampaikan Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu
"Lonceng itu adalah seruling setan.” (HR. Muslim no. 5514)
Masih dari Abu Hurairah ra, ia memberitakan sabda Rasulullah Saw. “Para malaikat tidak akan menyertai perkumpulan/rombongan yang di dalamnya ada anjing atau lonceng (yang biasa dikalungkan di leher hewan, pen.).” (HR. Muslim no. 5512)
Para malaikat adalah tentara Ar-Rahman. Mereka selalu berada dalam permusuhan dengan tentara setan. Maka, bila di suatu tempat tidak ada tentara Ar-Rahman, siapa gerangan yang menguasai tempat tersebut? Tentu para tentara setan.
Apa sebabnya para malaikat menjauhi lonceng? Ada yang mengatakan karena jaras/lonceng menyerupai naqus yang biasa dibunyikan di gereja. Ada pula yang berpandangan karena lonceng termasuk gantungan yang terlarang bila dipasang di leher. Ada juga yang berpendapat karena suara yang ditimbulkannya. Pendapat yang akhir ini diperkuat dengan riwayat:
“Lonceng itu adalah seruling setan.” (Al-Ikmal 6/641, Al-Minhaj 13/321)
Yang umum kita lihat, lonceng-lonceng itu digantungkan di leher hewan peliharaan. Dari lonceng tersebut keluarlah suara berirama bila hewan yang memakainya berjalan atau menggerak-gerakkan lehernya. Tentunya menggantung lonceng seperti ini dibenci dengan dalil hadits di atas.
Faedah
Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin menyatakan, dering yang terdengar dari jam sebagai pengingat waktu dan yang semisalnya, tidaklah masuk dalam pelarangan, karena lonceng itu tidak digantungkan di leher hewan peliharaan dan suaranya keluar hanya di waktu-waktu tertentu sebagai pengingat. Demikian pula bel rumah yang biasa dipasang di pintu rumah, tidak masuk dalam larangan. (Syarhu Riyadhish Shalihin, 4/338)
Ada faedah penting yang juga disampaikan oleh Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin dalam kitab yang sama, kita bawakan di sini sebagai tambahan ilmu. Asy-Syaikh mengingatkan tentang adanya sebagian telepon, ketika tersambung dengan nomor yang dituju namun masih menanti orang yang dituju karena sedang tidak ada di tempat (masih dipanggilkan misalnya, pen.) didapatkan adanya pesan: “Tunggulah beberapa saat, dengarkanlah terlebih dahulu musik ini!” Hal ini jelas haram karena musik hukumnya haram. Akan tetapi bila seseorang tidak mampu menghubungi orang yang diinginkan kecuali sebelumnya terdengar sambungan suara musik maka dosanya ditanggung oleh orang yang menginginkan musik tadi sebagai nada tunggu untuk nomor teleponnya. Hanya saja, kalau bisa disampaikan nasihat kepada yang bersangkutan maka disampaikan hingga musik tidak lagi menjadi nada tunggu, sekadar pesan, “Tunggulah beberapa saat!” Setelah itu diam, tidak ada suara lain, sampai akhirnya orang yang dituju berbicara.
Ada sebagian orang menjadikan bacaan Al-Qur’an sebagai nada tunggu atau nada sambung, di mana saat terhubung dengan nomor yang dituju terdengar lantunan beberapa ayat Al-Qur’an. Ketahuilah, perbuatan seperti ini justru merendahkan nilai Kalamullah, walaupun yang melakukannya tidak bermaksud demikian. Al-Qur’an turun kepada kita untuk sesuatu yang lebih mulia dan lebih agung daripada hal tersebut. Al-Qur’an turun untuk memperbaiki qalbu dan amalan-amalan. Al-Qur’an tidak turun untuk dijadikan nada tunggu pada telepon dan selainnya. Selain itu, terkadang yang menghubungi kita bukanlah orang yang mengagungkan Al-Qur’an, tidak perhatian terhadapnya dan terasa berat baginya mendengar sesuatu dari Kitabullah. Terkadang juga yang menghubungi kita seorang Nasrani, seorang kafir, atau seorang Yahudi. Ia dengar Al-Qur’an tersebut lalu ia menyangka itu adalah nyanyian, karena ia tidak kenal dengan Al-Qur’an, apalagi bila ia bukan orang Arab yang mengerti bahasa Arab. Dengan begitu tidaklah diragukan, perbuatan demikian justru merendahkan Al-Qur’an. Karenanya, kepada orang yang menjadikan Al-Qur’an sebagai nada tunggu dinasihatkan: bertakwalah engkau kepada Allah l! Kalamullah itu lebih mulia untuk dijadikan sebagai nada tunggu!
Adapun kata-kata hikmah yang ada riwayatnya atau hadits yang ada riwayatnya dari Nabi Saw. tidaklah terlarang dipakai sebagai nada tunggu, seperti hadits:
“Tinggalkan apa yang meragukanmu menuju kepada apa yang tidak meragukanmu.”
“Siapa yang berhati-hati dari perkara syubhat maka sungguh ia telah menjaga agama dan kehormatannya.”
Wallahu ta’ala a’lam. (Syarhu Riyadhish Shalihin, 4/338-339)
0 komentar:
Posting Komentar