Segala
puji hanya bagi Allah, yang telah menyampaikan kita dipenghujung 10
hari kedua bulan Ramadhan. Sebentar lagi kita akan memasuki 10 ketiga
atau terakhir bulan Ramadhan. Hari-hari yang memiliki kelebihan
dibanding lainnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada 10 terakhir Ramadhan ini meningkat amaliah ibadah beliau yang tidak beliau lakukan pada hari-hari lainnya.
Ummul Mu`minin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengisahkan tentang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada 10 terakhir Ramadhan :
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا دخل العشر - أي العشر الأخير من رمضان - شد مئزره، وأحيا ليله، وأيقظ أهله . متفق عليه
“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila
memasuki 10 terakhir Ramadhan, beliau mengencangkan tali sarungnya
(yakni meningkat amaliah ibadah beliau), menghidupkan malam-malamnya,
dan membangunkan istri-istrinya.” Muttafaqun ‘alaihi
Keutamaan 10 Terakhir bulan Ramadhan :
Pertama : Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serius
dalam melakukan amaliah ibadah lebih banyak dibanding hari-hari
lainnya. Keseriusan dan peningkatan ibadah di sini tidak terbatas pada
satu jenis ibadah tertentu saja, namun meliputi semua jenis ibadah baik
shalat, tilawatul qur`an, dzikir, shadaqah, dll.
Kedua : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membangunkan
istri-istri beliau agar mereka juga berjaga untuk melakukan shalat,
dzikir, dan lainnya. Hal ini karena semangat besar beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam agar keluarganya juga dapat meraih keuntungan besar pada waktu-waktu utama tersebut. Sesungguhnya itu merupakan ghanimah yang tidak sepantasnya bagi seorang mukmin berakal untuk melewatkannya begitu saja.
Ketiga : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada
10 Terakhir ini, demi beliau memutuskan diri dari berbagai aktivitas
keduniaan, untuk beliau konstrasi ibadah dan merasakan lezatnya ibadah
tersebut.
Keempat : Pada malam-malam 10
Terakhir inilah sangat besar kemungkinan salah satu di antaranya adalah
malam Lailatur Qadar. Suatu malam penuh barakah yang lebih baik daripada
seribu bulan.
Keutamaan Lailatul Qadr
Di antara nikmat dan karunia Allah subhanahu wa ta’ala
terhadap umat Islam, dianugerahkannya kepada mereka satu malam yang
mulia dan mempunyai banyak keutamaan. Suatu keutamaan yang tidak pernah
didapati pada malam-malam selainnya. Tahukah anda, malam apakah itu? Dia
adalah malam “Lailatul Qadr”. Suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan, sebagaimana firman Allah I:
إِنَّا
أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ * وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ
الْقَدْرِ * لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ * تَنَزَّلُ
الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ *
سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ *
“Sesungguhnya
Kami telah menurunkannya (Al Qur’an) pada malam kemuliaan (Lailatul
Qadr). Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan (Lailatul Qadr) itu?
Malam kemuliaan itu (Lailatul Qadr) lebih baik dari seribu bulan. Pada
malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin
Rabbnya untuk mengatur segala urusan. Malam itu penuh kesejahteraan
sampai terbit fajar”. (Al-Qadr: 1-5)
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata:
“Bahwasanya (pahala) amalan pada malam yang barakah itu setara dengan
pahala amalan yang dikerjakan selama 1000 bulan yang tidak ada padanya
Lailatul Qadr. 1000 bulan itu sama dengan 83 tahun lebih. Itulah di
antara keutamaan malam yang mulia tersebut. Maka dari itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berusaha untuk meraihnya, dan beliau bersabda:
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِإِيْمَاناًوَاحْتِسَاباً،غُفِرَلَهُ مَاتَقَدَّمُ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa
menegakkan shalat pada malam Lailatul Qadr atas dorongan iman dan
mengharap balasan (dari Allah), diampunilah dosa-dosanya yang telah
lalu”. (H.R Al Bukhari no.1768, An Nasa’i no. 2164, Ahmad no. 8222)
Demikian pula Allah subhanahu wa ta’ala beritakan
bahwa pada malam tersebut para malaikat dan malaikat Jibril turun. Hal
ini menunjukkan betapa mulia dan pentingnya malam tersebut, karena
tidaklah para malaikat itu turun kecuali karena perkara yang besar.
Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala mensifati malam tersebut dengan firman-Nya:
سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ
Malam itu penuh kesejahteraan sampai terbit fajar
Allah subhanahu wa ta’ala mensifati
bahwa di malam itu penuh kesejahteraan, dan ini merupakan bukti tentang
kemuliaan, kebaikan, dan barakahnya. Barangsiapa terhalangi dari
kebaikan yang ada padanya, maka ia telah terhalangi dari kebaikan yang
besar”. (Fatawa Ramadhan, hal. 848)
Wahai
hamba-hamba Allah, adakah hati yang tergugah untuk menghidupkan malam
tersebut dengan ibadah …?!, adakah hati yang terketuk untuk meraih malam
yang lebih baik dari 1000 bulan ini …?! Betapa meruginya orang-orang
yang menghabiskan malamnya dengan perbuatan yang sia-sia, apalagi dengan
kemaksiatan kepada Allah.
Mengapa Disebut Malam “Lailatul Qadr”?
Para ulama menyebutkan beberapa sebab penamaan Lailatul Qadr, di antaranya:
1. Pada malam tersebut Allah subhanahu wa ta’ala menetapkan secara rinci takdir segala sesuatu selama 1 tahun (dari Lailatul Qadr tahun tersebut hingga Lailatul Qadr tahun yang akan datang), sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala :
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ * فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ * [الدخان/3، 4]
“Sesungguhnya
Kami telah menurukan Al-Qur`an pada malam penuh barakah (yakni Lailatul
Qadr). Pada malam itu dirinci segala urusan (takdir) yang penuh
hikmah”. (Ad Dukhan: 4)
2. Karena besarnya kedudukan dan kemuliaan malam tersebut di sisi Allah subhanahu wa ta’ala.
3. Ketaatan pada malam tersebut mempunyai kedudukan yang besar dan pahala yang banyak lagi mengalir. (Tafsir Ath-Thabari IV/200)
Kapan Terjadinya Lailatul Qadr?
Malam “Lailatul Qadr” terjadi pada bulan Ramadhan.
Pada tanggal berapakah? Dia terjadi pada salah satu dari malam-malam ganjil 10 hari terakhir bulan Ramadhan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِفِي الْوِتْرِمِنَ الْعَشْرِالْأَوَاخِرِمِنْ رَمَضَانَ
“Carilah Lailatul Qadr itu pada malam-malam ganjil dari sepuluh hari terakhir (bulan Ramadhan)”. (H.R Al Bukhari no. 1878)
Lailatul
Qadr terjadi pada setiap tahun. Ia berpindah-pindah di antara
malam-malam ganjil 10 hari terakhir (bulan Ramadhan) tersebut sesuai
dengan kehendak Allah Yang Maha Kuasa.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah berkata: “Sesungguhnya Lailatul Qadr
itu (dapat) berpindah-pindah. Terkadang terjadi pada malam ke-27, dan
terkadang terjadi pada malam selainnya, sebagaimana terdapat dalam
hadits-hadits yang banyak jumlahnya tentang masalah ini. Sungguh telah
diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Bahwa beliau pada suatu tahun diperlihatkan Lailatul Qadr, dan ternyata ia terjadi pada malam ke-21″. (Fatawa Ramadhan, hal.855)
Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz dan Asy-Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud rahimahumallahu
berkata: “Adapun pengkhususan (memastikan) malam tertentu dari bulan
Ramadhan sebagai Lailatul Qadr, maka butuh terhadap dalil. Akan tetapi
pada malam-malam ganjil dari 10 hari terakhir Ramadhan itulah
dimungkinkan terjadinya Lailatul Qadr, dan lebih dimungkinkan lagi
terjadi pada malam ke-27 karena telah ada hadits-hadits yang
menunjukkannya”. (Fatawa Ramadhan, hal.856)
Di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan shahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan t:
عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ إِذَا قَالَ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ: لَيْلَةُ سَبْع وَعِشْرِيْنَ
Dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasanya apabila beliau
menjelaskan tentang Lailatul Qadr maka beliau mengatakan : “(Dia adalah)
Malam ke-27″. (H.R Abu Dawud, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud dan Asy-Syaikh Muqbil dalam Shahih Al-Musnad)
Kemungkinan paling besar adalah pada malam ke-27 Ramadhan. Hal ini didukung penegasan shahabat Ubay bin Ka’b radhiyallahu ‘anhu :
عن
أبي بن كعب قال : قال أبي في ليلة القدر : والله إني لأعلمها وأكثر علمي
هي الليلة التي أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم بقيامها هي ليلة سبع
وعشرين
Demi Allah, sungguh aku mengetahui malam (Lailatul
Qadr) tersebut. Puncak ilmuku bahwa malam tersebut adalah malam yang
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk
menegakkan shalat padanya, yaitu malam ke-27. (HR. Muslim)
Tanda-tanda Lailatul Qadr
Pagi harinya matahari terbit dalam keadaan tidak menyilaukan, seperti halnya bejana (yang terbuat dari kuningan). (H.R Muslim)
Lailatul
Qadr adalah malam yang tenang dan sejuk (tidak panas dan tidak dingin)
serta sinar matahari di pagi harinya tidak menyilaukan. (H.R Ibnu Khuzaimah dan Al Bazzar)
Dengan Apakah Menghidupkan 10 Terakhir Ramadhan dan Lailatul Qadr?
Asy-Syaikh ‘Abdul Aziz bin Baz dan Asy Syaikh Abdullah bin Qu’ud rahimahumallahu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih bersungguh-sungguh beribadah pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan untuk mengerjakan shalat (malam), membaca Al-Qur’an, dan berdo’a daripada malam-malam selainnya”. (Fatawa Ramadhan, hal.856)
Demikianlah
hendaknya seorang muslim/muslimah … Menghidupkan malam-malamnya pada 10
Terakhir di bulan Ramadhan dengan meningkatkan ibadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala;
shalat tarawih dengan penuh iman dan harapan pahala dari Allah I
semata, membaca Al-Qur’an dengan berusaha memahami maknanya, membaca
buku-buku yang bermanfaat, dan bersungguh-sungguh dalam berdo’a serta
memperbanyak dzikrullah.
Di antara bacaan do’a atau dzikir
yang paling afdhal untuk dibaca pada malam (yang diperkirakan sebagai
Lailatul Qadr) adalah sebagaimana yang ditanyakan Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai Rasulullah jika aku mendapati Lailatul Qadr, do’a apakah yang aku baca pada malam tersebut?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Bacalah:
اللهم إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
“Ya Allah sesungguhnya Engkau adalah Dzat Yang Maha Pemberi Maaf, Engkau suka pemberian maaf, maka maafkanlah aku”. (HR At-Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Maka hendaknya pada malam tersebut memperbanyak do’a, dzikir, dan istighfar.
Apakah pahala Lailatul Qadr dapat diraih oleh seseorang yang tidak mengetahuinya?
Ada dua pendapat dalam masalah ini:
Pendapat Pertama: Bahwa pahala tersebut khusus bagi yang mengetahuinya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
“Ini adalah pendapat kebanyakan para ulama. Yang menunjukkan hal ini
adalah riwayat yang terdapat pada Shahih Muslim dari hadits Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu dengan lafazh:
مَنْ يَقُمْ لَيْلَةَ الْقَدْرِفَيُوَافِقُهَا
“Barangsiapa yang menegakkan shalat pada malam Lailatul Qadr dan menepatinya.”
{kalimat فيوافقها di sini diartikan: mengetahuinya (bahwa itu Lailatul Qadr), pen-}
Menurut
pandanganku pendapat inilah yang benar, walaupun aku tidak mengingkari
adanya pahala yang tercurahkan kepada seseorang yang mendirikan shalat
pada malam Lailatul Qadr dalam rangka mencari Lailatul Qadr dalam
keadaan ia tidak mengetahui bahwa itu adalah malam Lailatul Qadr”.
Pendapat Kedua:
Didapatkannya pahala (yang dijanjikan) tersebut walaupun dalam keadaan
tidak mengetahuinya. Ini merupakan pendapat Ath-Thabari, Al-Muhallab,
Ibnul ‘Arabi, dan sejumlah dari ulama.
Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah merajihkan pendapat ini, sebagaimana yang beliau sebutkan dalam kitabnya Asy-Syarhul Mumti’:
“Adapun
pendapat sebagian ulama bahwa tidak didapatinya pahala Lailatul Qadr
kecuali bagi yang mengetahuinya, maka itu adalah pendapat yang lemah
karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِإِيْمَاناًوَاحْتِسَاباً،غُفِرَلَهُ مَاتَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa menegakkan shalat pada malam Lailatul Qadr dalam keadaan iman dan mengharap balasan dari Allah I, diampunilah dosa-dosanya yang telah lalu”. (H.R Al Bukhari no.1768, An Nasa’i no. 2164, Ahmad no. 8222)
Rasulullah
tidak mengatakan: “Dalam keadaan mengetahui Lailatul Qadr”. Jika hal
itu merupakan syarat untuk mendapatkan pahala tersebut, niscaya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan pada umatnya. Adapun pendalilan mereka dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مَنْ يَقُمْ لَيْلَةَ الْقَدْرِفَيُوَافِقُهَا
“Barangsiapa yang menegakkan shalat pada malam Lailatul Qadr dan menepatinya.”
Maka makna فيوافقها di sini adalah: bertepatan dengan terjadinya Lailatul Qadr tersebut, walaupun ia tidak mengetahuinya”.
Semoga anugerah Lailatul Qadr ini dapat kita raih bersama, sehingga mendapatkan keutamaan pahala yang setara (bahkan) melebihi amalan 1000 bulan. Amiin Ya Rabbal ‘Alamin.
Merupakan
sebuah sunnah yang telah banyak ditinggalkan oleh kaum muslimin ketika
bulan Ramadhan adalah I’tikaf. Setiap kaum muslimin tentu berharap agar
Ramadhan yang dia laksanakan bernilai di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, terutama ketika 10 terakhir Ramadhan yang di dalamnya terdapat Lailatul Qadr malam yang di dalamnya dilipatgandakan amalan seorang hamba lebih baik daripada 1000 bulan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam semasa
hidupnya telah memberikan contoh kepada umatnya untuk meningkatkan
amaliah ibadah ketika memasuki 10 Terakhir Ramadhan tersebut, dan
berusaha untuk mencari malam Lailatul Qadr dengan mengerahkan upaya
maksimal, sebagaimana hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha :
كَانَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ
شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأَحْيَا لَيْلَهُ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ
“Dahulu
Rasulullah ketika memasuki 10 Terakhir dari bulan Ramadhan, belia
mengencangkan tali sarungnya, menghidupkan malamnya, dan membangunkan
keluarganya”(HR Al Bukhari no.1884)
Di antara yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada 10 Terakhir Ramadhan adalah I’tikaf di masjid.
Maka berikut ini beberapa hukum ringkas yang terkait dengan permasalahan I’tikaf:
Pengertian I’tikaf
I’tikaf secara bahasa adalah terus-menerus dalam mengerjakan sesuatu atau menahan diri dari sesuatu.
Adapun pengertian I’tikaf secara syar’i adalah tinggal di masjid oleh orang tertentu, dengan sifat tertentu dalam rangka konsentrasi beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Hukum I’tikaf
I’tikaf merupakan ibadah sunnah yang disyari’atkan sebagaimana yang telah disebutkan di dalam Al-Qur’an, As Sunnah, dan Ijma’.
Dalil dari Al-Qur’an, firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ [البقرة/187]
“Dan janganlah kalian mencampuri mereka itu (istri-istri kalian), sedang kalian beri’tikaf”. (Al Baqarah: 187)
Dalil dari As Sunnah:
أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ
الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ
أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
“Bahwasanya Rasulullah
dahulu beri’tikaf ketika 10 Terakhir Ramadhan sampai Allah mewafatkan
beliau, kemudian beri’tikaflah istri-istri beliau setelah itu”.(Muttafaqun’alaih)
Serta para ulama’ bersepakat tentang sunnahnya perkara ini.
Tempat I’tikaf
Sebagian
‘ulama berpendapat bahwa i’tikaf hanya bisa dilakukan pada 3 masjid
saja, yaitu Al-Masjidil Haram di Makkah, Masjid An-Nabawi di Madinah,
dan Masjid Al-Aqsha di Palestina.
Jumhur ‘ulama berpendapat bahwa seluruh masjid bisa digunakan untuk beri’tikaf sebagaimana keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ [البقرة/187]
“Dan janganlah kalian mencampuri mereka itu (istri-istri kalian), sedang kalian beri’tikaf” (Al Baqarah: 187)
Karena
pada ayat di atas sasarannya adalah seluruh kaum muslimin, tidak
terbatas pada masjid tertentu. Kaum muslimin kebanyakan tinggal di luar 3
masjid tersebut.
Adapun hadits Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu :
لااعتكاف إلا في ثلاثة مساجد المسجد الحرام والمسجد الاقصى ومسجد رسول الله صلى الله عليه وسلم
“Tidak ada I’tikaf kecuali pada 3 masjid (Masjid Al-Haram, Masjid Al-Aqsha, dan Masjid An-Nabawy) (Riwayat Ibnu Abi Syaibah)
maka para ulama’ membawanya kepada afdhaliyyah (nilai yang lebih utama), yakni tidak ada I’tikaf yang utama kecuali pada tiga masjid tersebut.
Keluarnya seseorang ketika beri’tikaf
Jika
ada keperluan seperti buang hajat (BAK, BAB), maka para ulama
bersepakat tentang bolehnya hal tersebut. Adapun jika selain buang hajat
maka disesuaikan dengan kondisi.
Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah
berkata : “Dan yang termasuk dalam makna hajat adalah kebutuhan
seseorang terhadap makanan dan minuman jika tidak didapati seorang pun
yang mengantarkan makanan bagi dia, kemudian jika seseorang ingin muntah
maka dia harus menjauh dari masjid, dan seluruh perkara yang mau tidak
mau harus dia lakukan namun tidak mungkin dia lakukan di masjid, maka
boleh bagi dia untuk keluar dari masjid. Yang demikian tidak membatalkan
i’tikafnya dengan catatan tidak berlama-lama. Begitu pula keluar untuk
melaksanakan apa-apa yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti
seseorang yang beri’tikaf di masjid yang tidak didirikan shalat jum’at
maka dia harus keluar untuk menunaikan shalat jum’at dan tidak
membatalkan I’tikafnya.
Sedangkan jika keluar tanpa ada
keperluan (hajat) maka hal tersebut membatalkan I’tikafnya walaupun
sebentar, sebagaimana pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i, Al-Imam Malik, dan
Al-Imam Abu Hanifah.”
Sebagian ‘ulama menganjurkan agar i’tikaf dilakukan di masjid yang ditegakkan shalat Jum’at padanya.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata :
“Adapun
keluar dari masjid jika sebagian badannya maka tidak mengapa.
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari shahabat ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata :
كان
النبي صلى الله عليه وسلم يخرج رأسه من المسجد وهو معتكف، فأغسله وأنا
حائض - وفي رواية - كانت ترجل رأس النبي صلى الله عليه وسلم وهي حائض
“Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengeluarkan kepalanya dari masjid ketika beliau sedang beri’tikaf. Maka aku (‘Aisyah) mencucinya dalam keadaan aku haidh.”
Dalam riwayat lain : “Aisyah menyisir kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam padahal dia (‘Aisyah) sedang haidh.”
Kalau keluarnya dengan seluruh badannya, maka ada tiga kondisi :
Pertama :
Keluar karena urusan yang tidak bisa tidak, maka secara tabi’at maupun
secara syar’i. Seperti buang hajat kencing ataupun buang air besar,
wudhu’, mandi janabah, atau selainnya : makan, minum, maka itu semua
boleh jika memang tidak mungkin dilakukan di masjid. Namun jika
memungkinkan dilakukan di masjid, maka tidak boleh keluar dari masjid.
Misalnya, jika di masjid terdapat kamar mandi sehingga memungkinkan
baginya untuk buang hajat atau mandi di situ. Atau jika ada orang yang
mengantarkan kepadanya makanan dan minumnya. Maka dalam kondisi tersebut
tidak boleh keluar dari masjid karena tidak ada hal yang
mengharuskannya untuk keluar.
Kedua : Keluar
karena urusan ketaatan yang tidak wajib atasnya, seperti menjenguk orang
sakit, menghadiri jenazah, dan lainnya maka tidak boleh. Kecuali jika
ia mempersyaratkannya sejak awal i’tikafnya. Misalnya jika di keluarnya
ada orang sakit yang mesti ia jenguk, atau dikhawatirkan wafat, maka dia
mempersyarakat sejak awal i’tikaf bahwa ia hendak keluar untuk
keperluan tersebut, maka tidak mengapa baginya keluar.
Ketiga :
Keluar untuk sesuatu yang menafikan i’tikafnya, seperti keluar untuk
jual beli, berjima’ dengan istrinya, dan semisalnya, maka ini tidak
boleh, baik ia mempersyarakat sejak awal maupun tidak. Karena perbuatan
tersebut membatalkan i’tikaf dan menafikan tujuannya. “
(Majalis Syahri Ramadhan).
Kapan dimulai dan diakhiri waktu I’tikaf
I’tikaf
dimulai ketika tenggelamnya matahari hari ke-20 pada bulan Ramadhan
sebagaimana pendapat Jumhur ulama’. Berdalil bahwa dimulainya hari itu
dengan tenggelamnya matahari. I’tikaf diakhiri dengan tenggelamnya
matahari pada malam ‘Ied.
Batasan I’tikaf
Tidak
ada batasan waktu tertentu untuk I’tikaf, begitu pula syari’at tidak
membatasinya, dan ini merupakan pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i, Ahmad, dan
para ulama yang lainya. Bahkan diriwayatkan dari Abu Hanifah sahnya
i’tikaf walaupun hanya 1 jam.
Dan sebagaimana kisah Umar radhiyallahu ‘anhu :
كُنْتُ نَذَرْتُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ قَالَ فَأَوْفِ بِنَذْرِكَ
“Dahulu
semasa jahiliyyah aku bernadzar untuk beri’tikaf sehari di Masjid Al
Haram. Maka Rasulullah bersabda: “Penuhilah nadzarmu” (Muttafaqun’alaih)
I’tikaf di luar Ramadhan
I’tikaf
di luar Ramadhan diperbolehkan, sebagaimana kisah Umar t ketika
bernadzar semasa jahiliyyahnya untuk beri’tikaf selama 1 hari di Masjid
Al Haram akan tetapi yang disyari’atkan adalah di bulan Ramadhan, dan
kaum muslimin tidak diperintahkan untuk beri’tikaf selain bulan
Ramadhan.
I’tikaf di daerah lain
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang umatnya untuk melakukan syaddur rihal (perjalanan serius untuk tujuan ibadah) kecuali ke 3 masjid, sebagaimana hadits Abu Sa’id Al Khudry shallallahu ‘alaihi wa sallam :
لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ مَسْجِدِي هَذَا وَمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى
“Janganlah
kalian menempuh perjalanan yang jauh kecuali pada 3 masjid: Masjidku
ini (Masjid An Nabawy), Masjid Al Haram, dan Masjid Al Aqsha”.(Muttafaqun’alaih)
Adapun
selain 3 masjid di atas para ulama bersepakat tidak disyari’atkannya.
Termasuk dalam hal ini i’tikaf. Tidak boleh bagi seseorang sengaja
melakukan perjalanan ke masjid lain di luar daerahnya untuk melakukan
i’tikaf di masjid tersebut, yang demikian termasuk syaddur rihal yang dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hadits di atas.
Kecuali
bagi seorang musafir yang ketika sampai di suatu tempat kemudian dia
berniat untuk beri’tikaf di masjid di tempat tersebut tanpa ada niat
sebelumnya sejak dari negerinya bahwa ia akan i’tikaf di masjid
tersebut, maka yang demikian tidak mengapa.
Apa yang dilakukan oleh seorang yang beri’tikaf (mu’takif)?
1. Mengikhlaskan niat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala .
2. Menyibukkan diri dengan segala sesuatu yang mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala, seperti membaca Al Qur’an, dzikir, memperbanyak shalat nawafil (sunnah), dan lain sebagainya.
3. Tidak menyia-nyiakan waktunya untuk hal-hal yang tidak berguna.
4. Tidak meninggalkan masjid kecuali untuk kebutuhan yang mendesak (dharury).
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin rahimahullah berkata :
“Tujuan i’tikaf adalah memutuskan
diri dari berhubungan dengan manusia agar bisa konsentrasi beribadah
kepada Allah di salah satu masjid, dalam rangka mencari keutamaan dan
pahala dari-Nya, serta untuk mendapatkan lailatul qadar. Oleh karena itu selayaknya bagi seorang yang beri’itikaf untuk menyibukkan
diri dengan dzikir, qira’ah, shalat, dan ibadah, serta menjauhi hal-hal
yang tidak perlu seperti berbincang tentang urusan dunia. Dan
tidak mengapa berbincang sedikit dengan pembicaraan yang mubah dengan
keluarganya atau yang lainnya karena adanya mashlahah. Berdasarkan
hadits dari Shafiyyah Ummul Mu`minin radhiyallahu ‘anhu dia berkata : “Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf,
maka aku mengunjungi beliau pada salah satu malam. Maka aku berbincang
dengan beliau, kemudian aku berdiri untuk pulang, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri bersamaku (mengantar). Muttafaqun ‘alaihi
Beberapa Fatwa Penting
Bolehkan mu’takif (seorang yang beri’tikaf) mengajar atau menyampaikan pelajaran?
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin rahimahullah menjawab : Yang afdhal (lebih utama) bagi seorang mu’takif adalah
dia menyibukkan diri dengan ibadah khusus, seperti dzikir, shalat,
qira’atul qur’an, dan semisalnya. Namun jika memang ada keperluan untuk
mengajari seseorang atau belajar, maka tidak mengapa. Karena yang
demikian juga termasuk dzikir kepada Allah ‘azza wa jalla.
Bolehkah bagi mu’takif berhubungan dengan telepon untuk menyelesaikan urusan umat?
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin rahimahullah menjawab :
“Ya boleh bagi seorang mu’takif untuk
berhubungan dengan telepon guna menyelesaikan sebagian kebutuhan kaum
muslimin, apabila telepon tersebut memang berada di masjid tempat dia
beri’tikaf, karena dia tidak perlu keluar dari masjid. Namun apabila
teleponnya berada di luar masjid, maka ia tidak boleh keluar untuk itu.
Menyelesaikan
keperluan-keperluan kaum muslimin, apabila orang tersebut memang sangat
terkait dengannya maka dia tidak perlu i’tikaf. Menyelesaikan
keperluan-keperluan kaum muslimin lebih penting daripada i’tikaf, karena
manfaatnya lebih banyak. Manfaat lebih banyak lebih utama daripada
manfaat yang terbatas, kecuali jika manfaat terbatas tersebut merupakan
kewajiban dalam Islam.”
Perhatian :
1. Hendaknya para mu’takif senantiasa menjaga kebersihan dan kerapian masjid.
Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah berkata :
“Dengan
tetap perhatian terhadap semangat untuk senantiasa menjaga kebersihan
masjid dan waspada dari sebab-sebab yang bisa mengotori masjid, baik
sisa-sisa makanan maupun yang lainnya. Berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Diperlihatkan kepadaku pahala-pahala umatku, sampai-sampai hanya sekedar kotoran yang dikeluarkan oleh seseorang dari masjid.” HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah
Dan berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan
membangun masjid di tiap-tiap kampung/qabilah, kemudian hendaknya
dibersihkan dan diberi wewangian.” diriwayatkan oleh “Al-Khamsah”
kecuali An-Nasa`i, sanadnnya jayyid.”
2. Adapun hadits
ومن اعتكف يوماً ابتغاء وجه الله ؛ جعل الله بينه وبين النار ثلاثة خنادق ، كل خندق أبعد ما بين الخافقين
“Barangsiapa
yang beri’tikaf satu hari karena mengharap wajah Allah, maka Allah
jadikan antara dia dengan neraka tiga parit. Masing-masing parit
(lebarnya) lebih jauh daripada jarak dua ufuk.” (HR. Ath-Thabarani)
Adalah hadits yang dha’if (lemah). Pada sanadnya terdapat seorang perawi yang bernama Bisyr bin Salam Al-Bajali, dia adalah seorang perawi yang munkarul hadits, sebagaimana dikatan oleh Ibnu Abi Hatim, dan disepakati oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam kitabnya Lisanul Mizan. (lihat Adh-Dha’ifah no. 5345).
Semoga amalan kita dicatat di sisi Allah subhanahu wa ta’ala sebagai amal shalih.
Amin Ya Mujibas Sa’ilin
Adab-adab I’tikaf
1. Sangat disenangi bagi seorang mu’takif (orang yang i’tikaf) untuk menyibukkan dirinya dengan memperbanyak shalat sunnah, qiyamullail, membaca Al-Qur’anul Karim, dan bersemangat untuk mengkhatamkannya lebih dari satu kali.
2. Memperbanyak dzikir kepada Allah ta’ala, istighfar, do’a, dan shalawat atas Nabi yang ini dilakukan bersamaan dengan dzikir-dzikir syar’i yang telah dituntunkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
3. Seorang mu’takif hendaknya menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak bermanfaat baginya, baik berupa perkataan maupun perbuatan.
4. Tidak banyak bicara (yang tidak bermanfaat), karena seorang yang benyak bicaranya, akan lebih banyak salahnya.
5. Seorang mu’takif hendaknya menjauhi segala bentuk jidal (perdebatan) dan perselisihan. [Al-Mughni karya Ibnu Qudamah]
6. Seorang mu’takif hendaknya mau mengulurkan tangannya guna membantu para mu’takifin yang lain.
7. Senantiasa bersikap tenang, menjaga akhlak yang baik, dan tidak membuat keributan / mengganggu para mu’takifin yang lain dengan suara yang keras yang bisa mengganggu tidur mereka atau kekhusyu’an ketika shalat.
8. Seorang mu’takif hendaknya tidak menjadikan i’tikaf dia sebagai tempat untuk kumpul-kumpul dan begadang bersama sebagian teman-temannya atau bersama orang yang mengunjunginya, kemudian mengobrol dalam waktu yang cukup lama. Ini semua tidak selayaknya dilakukan karena menyelisihi hikmah yang dengannya i’tikaf ini disyari’atkan.
Hal-hal Yang Dibolehkan Ketika I’tikaf
Para ulama telah menyebutkan beberapa hal yang dibolehkan bagi para mu’takifin ketika itikaf, di antaranya:
1. Membuat kemah di dalam masjid yang dia gunakan untuk menyendiri di dalam beribadah.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata:
كَانَ النَّبِيُّ يَعْتَكِفُ فِي الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فَكُنْتُ أَضْرِبُ لَهُ خِبَاءً فَيُصَلِّي الصُّبْحَ ثُمَّ يَدْخُلُهُ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan, dan aku membuatkan kemah untuk beliau, beliau shalat shubuh kemudian memasukinya.” [HR. Al-Bukhari]
2. Keluar dari masjid ketika ada kebutuhan, seperti keluar untuk menyediakan makanan dan minuman, keluar untuk menunaikan hajatnya, berwudhu, dan juga mandi. Dengan syarat kebutuhan-kebutuhan tadi memang tidak bisa dilakukan di dalam masjid.
3. Boleh bagi seorang mu’takif untuk bertemu dan duduk bersama istri di dalam kemahnya, demikian pula boleh untuk menyambut siapa saja yang dating mengunjunginya, dengan syarat tidak menimbulkan fitnah.
Dari ‘Ali bin Husain radhiyallahu ‘anhuma:
أَنَّ صَفِيَّةَ زَوْجَ النَّبِيِّ أَخْبَرَتْهُ أَنَّهَا جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ تَزُورُهُ فِي اعْتِكَافِهِ فِي الْمَسْجِدِ فِي الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فَتَحَدَّثَتْ عِنْدَهُ سَاعَةً ثُمَّ قَامَتْ تَنْقَلِبُ أي تعود إلى بيتها وَقَامَ النَّبِيُّ ليَقْلِبهَا أي ليوصلها إلى بيتها
“Bahwasanya Shafiyyah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengkhabarkan kepadanya, bahwa dia pernah datang mengunjungi Nabi ketika beliau sedang i’tikaf di masjid pada sepuluh hari terakhir Ramadhan, kemudian dia (Shafiyyah) berbincang-bincang dengan beliau beberapa saat, dan kemudian dia berdiri untuk kembali ke rumahnya, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengantarkan dia sampai ke rumahnya.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]
4. Boleh bagi seorang mu’takif untuk meminang, melakukan akad nikah, dan menjadi saksi nikah di dalam masjid. Karena i’tikaf itu adalah ibadah yang tidak mengharamkan (menghalangi dikerjakannya) kebaikan (yang lainnya), maka i’tikaf tidak mengharamkan (menghalangi) seseorang dari nikah sebagaimana puasa. Demikian pula karena nikah itu adalah bentuk ketaatan, menghadirinya adalah juga merupakan bentuk taqarrub. Dan hendaknya itu semua dilakukan dengan tidak terlalu berlama-lama yang menyebabkan tersibukkannya dari i’tikaf ……
5. Boleh bagi seorang mu’takif untuk membersihkan badannya, memakai parfum, dan memakai pakaian yang baik, boleh pula menyisir rambutnya dan juga memotong kukunya.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata:
كَانَ النَّبِيُّ يُصْغِي إِلَيَّ رَأْسَهُ وَهُوَ مُجَاوِرٌ فِي الْمَسْجِدِ فَأُرَجِّلُهُ وَأَنَا حَائِضٌ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mendongokkan kepalanya kepadaku (ketika aku berada di rumahku yang) bersebelahan dengan masjid. Aku menyisir rambut beliau dalam keadaan aku sedang haid.” [HR. Al-Bukhari]
6. Boleh bagi seorang mu’takif untuk mengadakan halaqah dalam rangka mengajarkan cara membaca Al-Qur’an atau menghadiri halaqah bacaan Al-Qur’an tersebut, demikian pula dibolehkan untuk membaca kitab-kitab ilmiah dan menghadiri majelis-majelis para ulama dan diskusi mereka, atau kegiatan lain yang bisa memberikan manfaat kepada orang lain.
7. Boleh bagi seorang mu’takif untuk naik ke atap (lantai paling atas) masjid karena itu masih termasuk bagian dari masjid.
Beberapa hal yang merusak (membatalkan) i’tikaf
Para ulama juga telah menyebutkan beberapa hal yang bisa merusak (membatalkan) i’tikaf, di antaranya:
1. Keluar dari masjid tanpa ada keperluan yang mendesak.
Dari ‘Aisyah Ummul Mu’minin radhiyallahu ‘anha, dia berkata:
السُّنَّةُ عَلَى الْمُعْتَكِفِ أَنْ لاَ يَعُودَ مَرِيضًا وَلاَ يَشْهَدَ جَنَازَةً وَلاَ يَمَسَّ امْرَأَةً وَلاَ يُبَاشِرَهَا وَلاَ يَخْرُجَ لِحَاجَةٍ إِلاَّ لِمَا لاَ بُدَّ مِنْهُ وَلاَ اعْتِكَافَ إِلاَّ بِصَوْمٍ وَلاَ اعْتِكَافَ إِلاَّ فِي مَسْجِدٍ جَامِعٍ
“Termasuk sunnah bagi seorang mu’takif adalah tidak menjenguk orang sakit, tidak menghadiri jenazah, tidak menyentuh atau bercumbu dengan istri, tidak keluar dari masjid untuk urusan apapun kecuali memang urusan yang harus diselesaikan (di luar masjid), tidak ada i’tikaf kecuali dengan puasa, dan tidak ada i‘tikaf kecuali dilakukan di masjid jami’.” [Shahih Sunan Abi Dawud, karya Asy-Syaikh Al-Albani] [Al-Mughni]
2. Menggauli istri.
Para ulama sepakat bahwa seorang mu’takif jika menggauli istrinya dengan sengaja, maka i’tikafnya batal dan tidak ada kewajiban menqadha’ i’tikafnya, kecuali jika i’tikafnya tersebut adalah i’tikaf wajib. Berdasarkan firman Allah ta’ala:
وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid.” [Al-Baqarah: 187]
3. Murtad (keluar) dari Islam.
Jika seorang mu’takif murtad -wal’iyadzubillah-, maka batallah i‘tikafnya, berdasarkan firman Allah ta’ala:
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. “Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” [Az-Zumar: 65]
Dan dengan murtadnya itu dia telah keluar dari keadaan dia sebagai seorang mu’takif. [Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah]
4. Hilang akal.
Disebabkan minum khamr, pingsan, atau gila. Karena berakal merupakan syarat i’tikaf.
5. Junub atau nifas.
Karena dengan itu hilanglah syarat thaharah kubra yang juga menjadi salah satu syarat i’tikaf. [Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah]
Terakhir, kami memohon kepada Allah ta’ala agar Dia menjadikan amalan kita ini sebagai amalan yang ikhlas untuk mengharapkan wajah-Nya Yang Mulia, dan agar Dia juga menjadikan amalan ini bermanfaat bagi segenap kaum muslimin di manapun berada.
وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
0 komentar:
Posting Komentar